Sistem Informasi Desa Purbadana
Pada zaman jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, Purbadana telah ada namun penduduknya kala itu masih belum mengenal agama dengan baik. Mereka memang telah mempunyai keyakinan tapi kebanyakan keyakinan yang sekarang kita kenal sebagai ajaran kapitayan. Kapitayan itu bukan hindu bukan budha apalagi kristen. Itu keyakinan asli penduduk jawa khususnya. Pada masa itu era sekitar tahun 1830 an perang Diponegoro berakhir dengan dijebaknya beliau oleh belanda di magelang. Dengan tertangkapnya pangeran Diponegoro pengikutnya terpencar-pencar ke segala arah. Mereka memencar untuk menghindari kejaran tentara belanda dan juga tentara kerajaan surakarta dan jogjakarta yang pro belanda. Diantara tentara Diponegoro yang terdeteksi keberadaannya makamnya ada di Cilongok, di kuthaliman, jombor, pageraji, banjaranyar, dawuhan, kejawar, keturunannya ada yang di ledug, kedungparuk, sokaraja dan lain-lainnya. Syekh Abdul Malik adalah salah satu keturunan tentara Diponegoro yang melarikan diri ke arah Banyumas.
Diantara pengikut pangeran Diponegoro ada yang mesanggrah di purbadana (sayang namanya tidak kuketahui) yang kita kenal sekarang sebagai brubahan. Jumlahnya tidak hanya satu tapi beberapa orang. Sebagaimana umumnya orang jaman dulu yang punya ilmu agama, mereka punya tanggung jawab untuk mendakwahkan ilmunya dimanapun berada, walaupun mungkin ilmu agamanya masih pas-pasan. Mereka yang mesanggrah disitu juga berdakwah di daerah tersebut, membuat semacam padepokan yang digunakan sebagai pusat kegiatan agama. Sedikit demi sedikit merubah kebiasaan penduduk yang kala itu masih awam agama untuk dikenalkan dengan agama Islam.
Keberadaan mereka disitu dirahasiakan dalam penyamaran karena untuk menghindari mata-mata penjajah atau mereka yang kontra dengan pangeran diponegoro. Tapi mereka mengikatkan diri atau menjalin hubungan dengan pasirluhur yang waktu itu sudah dibawah kekuasaan islam. Beberapa lama mereka menikmati kedamaian di daerah tersebut. Mereka menyebut daerah itu astana maknanya sebuah tempat yang letaknya lebih tinggi dibanding sekelilingnya. Karena bentuknya yang memanjang maka disebutlah astana dawa. Tapi dawa disini maknanya tidak hanya panjang melainkan bisa berarti obat, kalau tidak salah dawa’ artinya obat, karena sejak mesanggrahnya sebagian pengikut Pangeran Diponegor disitu mereka dikenal pandai mengobati orang sakait. Jadi astana dawa punya makna dua sebuah tempat yang lebih tinggi dari sekitarnya yang berukuran panjang dan sebuah tempat yang lebih tinggi dibanding lingkungannya dan merupakan tempat berobat. Di kamus bahasa banyumas tak ada istilah astana, astana adalah kosa kata kalangan keraton yang dibawa oleh sebagian pengikut pangeran Diponegoro.
Sepandai-pandai menyimpan rahasia, keberadaan mereka akhirnya diketahui oleh telik sandi belanda. Singkatnya karena dianggap membahayakan maka dikirimlah tentara gabungan belanda dengan yogyakarta untuk menghancurkan sisa-sisa pengikut Diponegoro tersebut.
Perang terjadi secara berhadap-hadapan langsung dan sebagian besar penghuni astana itu tewas. Yang selamat melarikan diri cerai berai ke segala arah. Mereka yang meninggal dalam perang skala kecil tersebut dimakamkan di sekitar komplek astana dawa. Dalam keadaan gawat tak terpikirkan oleh mereka untuk memberi nisan pada kuburan mereka, hanya batu-batu yang dijadikan tanda bahwa itu adalah kuburan. Senjata-senjata mereka juga ikut dikuburkan disekitar astana oleh mereka yang selamat.
Makanya tempo dulu ketika perjuangan bersenjata era mempertahankan kemerdekaan tidak sedikit lasykar perjuangan yang mencari keberadaan senjata-sanjata piandel disitu. Termasuk dikuburan timur sungai nariban. Bagi yang ingin tahu sebagian diantara lasykar itu adalah tokoh banyumas yang dikenal dengan nama Pujadi Jaring Bandayuda,.
Perang berhadap-hadapan satu lawan satu, atau satu melawan sepasukan tentara dalam istilah kemiliteran keraton dikenal dengan nama Perang Brubuh, perang brubuh yang habis-habisan dalam bahasa militer kraton disebut perang brubuhan. dari kata brubuhan ini lama-lama karena lebih mudah menyebut a dari pada u maka lama-lama berubah menjadi brubahan. Sementara astana dawa juga bergeser sedikit ejaannya menjadi stanadawa.
Jika dimasa sekarang ada penduduk yang menganggap stanadawa adalah petilasan maka itu ada benarnya karena dulu disitu berdiri sebuah astana, reruntuhannya bisa dilihat sisa-sisanya walau kebanyakan bahan pondasinya sudah diambili untuk bahan bangunan entah oleh siapa. Demikian pula jika dianggap kuburan maka ada benarnya juga, karena disitu dikuburkan mereka yang meninggal dalam perang brubuh di kedua kubu yang bertikai
Desa Purbadana sampai sekarang sudah di Kepalai oleh 8 Kepala Desa.”””
Adapun lebih jelasnya lihat keterangan dibawah ini :
NO |
Nama Kepala Desa |
Tahun |
Keterangan |
1. |
Dipa Wirya |
|
Penatur pertama |
2. |
Reksa Dipa |
|
Penatus Kedua |
3. |
Arsa Diwirya |
|
Penatus Ketiga |
4. |
Abdul Madjid |
1956 s/d 1988 |
|
5. |
Bejo Soecipto |
1988 s/d 1991 |
|
6. |
Amrullah |
1993 s/d 2001 |
|
7. |
Pujiyono |
2001 s/d 2007 |
|
8. |
Warsito |
2007 s/d 2027 |
|