Sejarah Desa
Ini adalah sebuah catatan kecil mengenai asal-usul Desa Purbadana, terbentuknya suatu kumpulan masyarakat yang hidup pada era masa berakhirnya kerajaan mataram pada masa kepemimpinan raja Amangkurat I. Putra dan pengganti Sultan Agung (-Hanyakrakusuma) sebagai penguasa atas kerajaan Mataram (1646-1677 M).
Pada tahun 1647 Amangkurat I pindah ke istananya yang baru di Plered, tepat di sebelah timur laut Karta. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu merah daripada dari kayu seperti istana yang lama, mungkin semacam contoh kepermanenan dan kekokohan yang ingin dilihat Amangkurat I di seluruh pelosok kerajaannya. Pekerjaan di Plered tersebut berjalan terus setidak-tidaknya sampai tahun 1666. Waktu kompleks istana baru itu bertambah besar, susuhunan baru itu semakin kejam. Teman-teman lama ayahnya menghilang satu demi satu, beberapa di antaranya mungkin karena usia lanjut, tetapi kebanyakan karena mereka dibunuh atas perintah raja. Pada tahun 1648 van Goens menyebutkan tentang ‘cara pemerintahan mereka yang aneh ... orang-orang tua dibunuh dalam rangka memberi tempat kepada yang masih muda! (Gezantschapsreizen, 67). Di antara orang-orang paling terkemuka yang menjadi korban raja ini adalah ayah mertuanya sendiri Pangeran Pekik dari Surabaya, yang dibunuh bersama-sama dengan sebagian besar anggota keluarganya pada tahun 1659. Jiwa paman raja pun, yang merupakan satu-satunya saudara laki-laki Sultan Agung yang masih hidup, Pangeran Purbaya, terancam tetapi berhasil selamat karena adanya campur tangan ibu suri.
Pada masa kepemimpinan Raja Amangkurat I terjadi pemberobtakan besar-besaran samai pemberontakan sudah mencapai puncaknya. Istana Plered diserang dan jatuh ke tangan pasukan Trunajaya. Hari keruntuhannya tidak jelas, tetapi sudah pasti antara akhir bulan Mei dan akhir bulan Juni 1677. Kronik-kronik Jawa menyebutkan bahwa ketika musuh semakin mendekat, prajurit-prajurit raja berkerumun di depan istana tetapi raja mengatakan supaya mereka tidak menentang kehendak Tuhan; hari terakhir abad itu telah tiba dan bersamaan dengan itulah saat runtuhnya Mataram. Tradisi Jawa juga menyebutkan bahwa hampir seabad sebelumnya pulung yang jatuh di Sela Gilang telah meramalkan kepada Senapati bahwa Mataram akan jatuh pada zaman cicit laki-lakinya, yaitu Amangkurat I. Raja telah meninggalkan istana sebelum musuh-musuhnya sempat mencapainya. Dia menyerahkan istana kepada putranya, Pangeran Puger, dan membawa serta putra mahkota bersamanya ke arah barat laut menuju daerah pesisir. Putra mahkota, yang telah begitu lama tetap selamat di antara musuh-musuhnya dalam keluarga kerajaan, hanya mempunyai sedikit harapan dapat selamat di tangan bekas pelindungnya Trunajaya. Puger tidak mampu melawan kaum pemberontak, dan terpaksa melarikan diri dan meninggalkan istana
Dalam pelariannya Amangkurat I memerintahkan pasukan teliksandi yang bertujuan untuk mengamankan dan membuka jalan pelarian menuju Batavia. Pasukan teliksandi tersebut dipimpin oleh ki PURBOWASESO yang membuka jalan untuk amangkurat sebagai penunjuk jalan sampai di Binangun. Ki Purbowasesa menghadap gurunya (Syekh Jambu karang) di tengah perjalanan istirahat di suatu tempat (masih hutan) Tempat tersebut di berinama Istana Dawa (Stana Dawa). Di tempat tersebut purbawasesa mengumpulkan orang-orang agar bermukim dengan memberikan dana (upah) sampai pada akhirnya tempat itu di berikan nama Purbadana. Purba artinya awal (kawitan) Dana artinya upah atau pemberian.
Amangkurat I tidak kuasa mengatasi penderitaan selama pelariannya. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal, di pesisir utara. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Dulu ketika raja melarikan diri, ia harus meninggalkan harta kekayaannya dan sebagian tanda-tanda kebesaran kerajaan yang sempat dibawanya lari sekarang menjadi milik putra mahkota. Dengan demikian, hanya dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan yang keramat tersebut namun tanpa harta kekayaan, suatu pasukan, sebuah istana, atau kerajaan; Susuhunan Amangkurat II (1677-1703) memulai masa pemerintahannya. Dia hanya mempunyai satu alat yang memungkinkannya untuk mengangkat dirinya sebagai penguasa di Jawa; dia harus menghubungi VOC supaya mau bertempur di¿pihaknya.
¿